Nama pengarang: Irwan
Saputra Prodi: Ekonomi
Islam (EI’b)
FITRAH DAN AL-QUR’AN
Ditengah
perkembangan zaman dan teknologi yang semakin canggih seakan menjadi masalah
kompleks bagi generasi muda ataupun generasi muslim saat ini. Banyaknya budaya
asing yang masuk tidak hanya merubah pola hidup masyarakat masa kini tapi juga
melunturkan nilai-nilai keislaman yang diajarkan kepada umat muslim melalui
Al-Qur’an dan Hadist. Adanya pergeseran budaya itu dapat dilihat dari generasi
muslim saat ini yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain-main, lebih
banyak memilih curhat bahkan memanjatkan doa melalui media sosial baik
menggunakan akun facebook, twitter, BBM, dan lain sebagainya. Padahal telah
diajarkan untuk selalu berserah diri dan hanya meminta kepada Sang kuasa yakni Allah
Swt. Pada saat ini ayat-ayat Al-Qur’an sudah jarang terdengar lagi karena tertindas
kepopuleran lagu-lagu yang sedang booming saat ini bahkan jarang sekali
terlihat generasi muslim saat ini memegang Al-Quran selain Handphone dan Gadget
mereka. Tetapi tidak dengan generasi muslim yang satu ini yang sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dan sangat mencintai Al-Qur’an bahkan
berniat untuk menghafalnya. sebut saja namanya Fitrah. Dia tinggal di Ibu kota
disalah satu daerah terbesar di Indonesia dimana ia tinggal bersama keluarga
besarnya. Dia berasal dari keluarga yang cukup mapan, ayahnya bekerja sebagai
pegawai negeri disalah satu instansi dikotanya sekaligus pemilik toko meibel
yang cukup terkenal didaerahnya. Sedangkan ibunya hanya membantu ayahnya
mengurus toko meibel milik ayahnya. Dia mempunyai satu saudara perempuan yang
telah menikah dengan salah satu prajurit TNI Angkatan Laut. Dan dia juga
memiliki seorang adik laki-laki yang duduk dikelas 1 smp atau 6 tahun lebih
muda dari Fitrah yang duduk dikelas 3 SMA disalah satu sekolah favorit
didaerahnya. Meskipun dia hidup berkecukupan tapi dia tidak pernah sombong dan
bangga karena dia menyadari apa yang dimilikinya saat ini hanya titipan dari
Sang Khalik.
Suatu hari Fitrah yang duduk dikelas 3 SMA
akhirnya dinyatakan lulus setelah nilai yang diperoleh dari Ujian Nasional (UN)
melewati standar yang telah ditetapkan. Dia pun sangat senang dengan itu dan
tibalah waktu dimana ia harus menentukan kemana dia harus melanjutkan
pendidikannya setelah lulus SMA. Fitrah yang memiliki cita-cita menjadi Hafizh
Qur’an (penghafal- qur’an) berniat untuk masuk disalah satu pesantren khusus
penghafal qur’an yang ada didaerahnya. Hal yang menjadi motivasi utama Fitrah
menjadi Hafizh Qur’an adalah karena ibu dan ayahnya buta huruf dalam membaca
qur’an. Tetapi, ketika ia menyampaikan niat mulyanya itu kepada orang tuanya,
hal itu tidak mendapat tanggapan baik
dari ayahnya. Ayahnya sangat tidak setuju dengan niat Fitrah itu, karena
ayahnya menginginkan dia untuk lanjut ke perguruan tinggi agar fitrah dapat
mengikuti jejak ayahnya sebab ayahnya selalu mengatakan “Kamu mau jadi apa kalau kamu lanjut kepesantren penghafal itu?
Palingan hanya jadi imam saja. Itu tidak tidak bisa menjamin masa depanmu
nanti” begitulah yang dikatakakan oleh orang awam akan agama. Tapi Fitrah
tetap pada pendiriannya untuk lanjut kepesantren itu dan ayahnya juga tetap
tidak setuju. Akhirnya Fitrah menawarkan kesepakatan kepada ayahnya untuk
memberikan kesempatan kepada dia untuk masuk kepesantren pengahafal itu selama
satu tahun setelah dia berhasil mengahafal qur’an dia akan menuruti keinginan
ayahnya untuk masuk keperguruan tinggi dan ayahnya pun setuju dengan itu.
Disatu sisi Fitrah sangat senang karena mendapat persetujuan dari ayahnya, tapi
dilain sisi ada tugas berat yang harus ia capai karena harus menhafal qur’an dalam
waktu singkat sedangkan ia belum terlalu fasih dalam membaca qur’an.
Hari yang
dinantikan Fitrah pun tiba, dia pun diterima untuk masuk kepesantren khusus
penghafal itu. Di pesantren itu Fitrah pun diajarkan tentang metode efektif
dalam menghafal Qur’an dan dia pun melakukan apa yang diajarkan kepadanya. Satu
tahun sudah Fitrah berada di pesantren itu tapi dia hanya mampu menghafal 10
juz sehingga dia meminta kesempatan kepada ayahnya satu tahun lagi untuk
menghafal Qur’an dan ayahnya pun setuju. Ditahun kedua Fitrah sempat menyerah
untuk menghafal Qur’an karena ternyata menghafal Qur’an tidak semudah yang dia
bayangkan. Tapi ketika dia melihat seorang anak berumur enam tahun disalah satu
stasiun televisi nasional yang bisa menghafalkan Al-Qur’an dengan lancar seakan
membangkitkan semangatnya lagi untuk bisa menghafalkan Qur’an. “Kalau anak kecil saja bisa, kenapa saya
tidak” itu lah kata-kata yang selalu terbesik didalam hatinya dan dia pun
melanjutkan usahanya untuk menghafal Qur’an. Ditahun kedua ini Fitrah belum
juga bisa menyelesaikan hafalan Qur’annya karena dia baru mampu menghafal 25
juz dan kembali meminta kesempatan kepada ayahnya satu tahun lagi untuk
menyelesaikan hafalannya, meski ayahnya sempat keberatan namun akhirnya ayahnya
pun memberikan satu tahun terakhir untuk fitrah menyelesaikan hafalannya.
Dipertengahan
tahun ketiga Fitrah berada di pesantren itu ujian berat menimpa dia dan
keluarganya. Ayahnya meninggal dunia karena kecelakaan. Fitrah pun sangat sedih
dengan kepergian ayahnya itu karena selama di pesantren ia jarang sekali
berhubungan dengan ayahnya dan dia juga sangat sedih karena belum sempat
memenuhi keinginan ayahnya untuk dia lanjut ke perguruan tinggi. “Ya Allah ampunilah dosaku dan dosa ayahku,
tempatkanlah dia disisimu” itulah doa yang dipanjatkan Fitrah dengan
linangan air mata. Ujian bagi Fitah dan keluarganya belum sampai disitu
ternyata ayahnya memiliki banyak utang sehingga memaksakan mereka untuk menjual
segala aset peninggalan ayahnya hingga tidak ada lagi yang tersisa. “sudah jatuh, tertimpa tangga pula” itulah
kata pepatah yang pantas bagi fitrah dan keluarganya atas kemalangan yang
menimpa mereka. Kehidupan fitrah dan keluarganya pun berbalik 360 derajat, yang
dulunya serba berkecukupan dan sekarang serba kekurangan. Ibu Fitrah pun jatuh
sakit karena belum bisa menerima ujian yang diberikan kepada mereka. Berbagai
ujian yang menimpa keluarga Fitrah tentu sangat mempengaruhi hafalan Qur’annya
yang sampai tahun ketiga ini belum juga selesai dan dia juga berniat untuk
menghentikan hafalannya karena dia berfikir dia sudah tidak punya biaya untuk
tetap berada di pesantren penghafal itu. Meski pihak pesantren telah
membebaskan dia dari biaya melalui
beasiswa yang diberikan kepadanya. Tapi dia tetap ingin menghentikan hafalannya
karena dia merasa putus asa sebab dia menganggap Allah tidak adil dan sayang
kepadanya dengan banyaknya ujian yang menimpa keluarganya itu.
Suatu hari
Fitrah bertemu dengan salah satu ustadz pembimbngnya di pesantren untuk
mengajak Fitrah kembali ke pesantren. Fitrah tak lantas menerima ajakan itu,
dia pun bertanya kepada ustadz pembimbingnya “Ustadz bukannya Allah mencintai hamba-hamba yang mencintainya, dan
mencintai wahyu dan ciptaanya seperti aku yang sangat mencintai Al-Qur’an dan
berusaha menghafalnya. Tapi mengapa dia memberikan cobaan ini kepadaku dan
keluargaku?”
Ustadz itu pun menjawab pertanyaan fitrah “Allah memberikan ujian berat kepadamu bukan
karena dia tidak cinta dan sayang sama kamu tapi karena Allah melihat kamu kuat
sebab Allah tidak akan menguji hambanya diluar batas kemampuannya”
mendengar
jawaban itu Fitrah sontak berkata “Tapi
buktinya saya tidak kuat menhagadapi ini semua”
Ustadz itu
kembali berkata “Saya yakin kamu kuat,
serahkan saja semua kepada Allah, ikhlaskan semua yang telah terjadi kepadamu
Allah pasti memiliki rencana indah dibalik musibah yang menimpamu dan
keluargamu. Dan ingat Allah itu Maha pengasih lagi Maha penyayang”
Mendengar
perkataan ustadz pembimbingnya itu Fitrah langsung mengucapkan istighfar dan
memohon ampun kepada Allah karena dia sempat lupa diri dan meragukan keagungan
Allah. Tapi Fitrah belum bisa menerima ajakan ustadznya itu sebab dia harus
menjaga ibunya yang sedang sakit. Pada
akhirnya Fitrah pun menerima ajakan ustadznya itu untuk kembali ke
pesantren setelah sang ibu mengizinkannya dan memberikan motivasi kepada Fitrah
untuk menyelesaikan hafalannya sebagai tanda ia sayang kepada ibunya. Setelah
di pesantren Fitrah pun berusaha keras untuk mengahafal Qur’an ditahun
ketiganya ini berada di pesantren. Akhirnya dengan segala usaha dan rintangan
yang menghalanginya diakhir tahun ketiga ini Fitrah pun berhasil menyelesaikan
hafalan 30 juz nya dan tibalah waktu dia untuk diwisuda sebagai tanda dia hatam
(tamat) menghafalkan Qur’an. Pada saat proses wisuda tercipta suasana haru
antara Fitrah dan ibunya. Tentunya Fitrah tidak bisa menahan air matanya karena
apa yang dia cita-citakan bisa tercapai, sama halnya dengan ibunya tentunya
merasa bangga terhadap prestasi anaknya yang digambarkan melalui air mata. Tapi
sayang sang ayah tidak dapat melihat keberhasilannya dalam menghafal Qur’an.
Setelah
berhasil menghafalkan Qur’an Fitrah berusaha untuk selalu mengkaji Al-Qur’an
dan selalu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-harinya. Suatu hari Fitrah
diminta untuk mewakili provinsinya untuk mengikuti lomba hafalan Qur’an 30 juz
tingkat nasional dan diapun menerima tawaran itu. Hal yang tidak pernah
terfikirkan oleh Fitrah yakni dia berhasil menjadi juara pertama pada lomba itu
dan berhak memperoleh hadiah uang pembinaan sebesar 100 juta sekaligus mewakili
Indonesia pada lomba yang sama tingkat International di Malaysia. Fitrah sangat
senang dan bangga akan prestasinya itu dan menyerahkan 70 persen hadiahnya
kepada keluarganya yang sedang dilanda krisis ekonomi dan menyisihkan 30 persen
dari hadiahnya kepada anak yatim dan fakir miskin yang juga membutuhkan. Fitrah
pun menyiapkan dirinya sebaik mungkin untuk menghadapi lomba hafalan Qur’an
tingkat international. Fitrah tidak pernah terfikir bahwa Al-Quran lah yang
menghantarkan dia untuk pertama kalinya menginjakkan kaki diluar negeri tentunya dia sangat bersyukur akan itu.
Tibalah waktu
dimana Fitrah harus berangkat keluar negeri untuk mengikuti lomba hafalan
Qur’an itu. Dia pun meminta restu kepada keluarga terkhusus kepada ibunya untuk
mendoakan dia semoga dia bisa memberikan hasil maksimal pada lomba itu. Dengan
linangan air mata ibunya pun merestui kepergian Fitrah dan tak henti-hentinya
berdoa agar Fitrah dapat sampai dengan selamat ditempat tujuan dan memperoleh hasil terbaik pada
lomba itu. Setelah berlomba tibalah waktu yang ditunggu-tunggu yaitu pengumuman
hasil lomba dan tak disangka-sangka Fitrah mendapat juara pertama pada lomba
itu. Fitrah pun tidak bisa berkata-kata dia hanya bisa menangis meluapkan
kegembiraannya dan dia tidak
henti-hentinya mengucap syukur dan terima kasih kepada Allah Swt atas
keberhasilan yang diraihnya. Karena Fitrah berhasil menjadi yang terbaik maka
dia berhak atas hadiah satu paket berangkat haji ke tanah suci untuk Fitrah dan
keluarganya juga berhak menerima uang tunai yang jika dirupiahkan sebesar 367
juta rupiah. Setibanya dia di tanah air, ia langsung disambut tangisan dan
pelukan sang ibu yang menyambutnya di bandara.
Tentunya ini
prestasi yang membanggakan dari Fitrah, tidak hanya bagi keluarganya saja tapi
juga bagi bangsa dan negaranya. Dan akhirnya Fitrah bisa mewujudkan apa yang
dicita-citakan setiap anak untuk memberangkatkan haji orang tuanya. Fitrah
memang salah satu anak yang sangat menyayangi kedua orang tuanya, dia sering
berfikir jika dia diperkenankan masuk ke surga dan dia diberikan tiket tambahan
untuk menemaninya di surga maka orang pertama yang akan dia panggil adalah
kedua orang tuanya.
Kehidupan
Fitrah dan keluarganya mulai bangkit kembali, uang dari hadiah yang ia dapatkan
digunakan sebagai modal untuk membuka usaha laundry dan usahanya bisa dibilang
berhasil dan taraf kehidupan fitrah dan keluarganya semakin naik tapi dia tidak
pernah lupa untuk selalu menyisihkan apa yang dia punya kepada orang-orang yang
membutuhkan. Memikirkan keberhasilannya ini Fitrah sering teringat masa lalu
ketika keluarganya diberikan ujian yang cukup berat dan harus memulai kehidupan
baru dari titik nol. Keberhasilan Fitrah
saat ini juga mengingatkan dia dengan perkataan ustadz pembimbingnya “Ternyata inilah rencana indah yang
dijanjikan Allah kepadaku dibalik ujian berat yang menimpaku seperti apa yang
dikatakan ustadzku dulu”. Satu lagi hikmah yang dapat Fitrah petik yaitu
ini mematahkan pendapat ayahnya yang mengatakan masa depan Fitrah tidak bisa
terjamin jika ia menjadi seorang penghafal Qur’an. Tapi, pada kenyataanya
Al-Qur’an lah yang menyelamatkan Fitrah dari keterpurukan dan menyelamatkan
krisis ekonomi yang menimpa keluarganya. Andai saja ayahnya Fitrah masih hidup,
dia hanya ingin mengatakan kepada ayahnya untuk tidak pernah meragukan
kedahsyatan Al-Qur’an. Dia juga ingin mengatakan kepada ayahnya untuk tetap
tenang di alam sana dan tidak perlu menghawatirkan dia dan keluarganya didunia
sebab Al-Qur’an akan selalu bersama mereka.
“Sekian”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar